Gambar: Ilustrasi Guru Mengajar/harianbhirawa |
Makassar - Indonesia adalah salah satu negara yang telah dijuluki sebagai negara yang merdeka. Konon katanya, merdeka adalah pembebasan dari segala hal, sehingga penduduknya sejahtera. Namun, jika melihat kondisi kehidupan masyarakatnya saat ini, untuk mencapai kata makmur atau sejahtera pun tak mampu.
Pasalnya, ada satu kasus yang hingga kini masih menjadi pusat keprihatinan dari berbagai pihak, yakni nasib guru honorer, yang harus berjuang dengan mempertaruhkan waktunya demi bisa membiayai kehidupan sehari-hari.
Rp8000 Per Jam Layakkah Disebut Gaji?
Sosok guru honorer di Sekolah yang ada di kota Makassar, yakni Novi, sudah hampir 7
tahun dirinya berstatus sebagai guru honorer. Sedari awal dirinya mengaku belum
pernah mendapatkan gaji yang layak. Gajinya dibayar perjam dengan harga murah,
serta tanpa ada fasilitas yang diberikan. Separuh waktu hanya ia gunakan untuk
mengabdi, tanpa adanya kepastian upah yang layak. Rp8000 per jam, layakkah
disebut gaji?
“Sudah hampir 7 tahun saya jadi guru,
sejak lulus dari kuliah sampai sekarang menjadi profesi guru honorer, saya
belum pernah mendapatkan dan merasakan gaji yang layak. Kalau cuman Rp8000 per
jam layakkah disebut gaji? Apalagi kalau hanya 3 atau 4 jam saja kami ngajar
setiap minggu,” ungkap Novi, saat dikonfirmasi, Selasa (24/8/2021).
Mengeluarkan keringat, menghabiskan waktu
dengan berdiri berjam-jam, berpoteh-poteh menjelaskan teori yang harus
dipelajari terlebih dahulu setiap malamnya sebelum diajarkan kepada peserta
didik, bahkan rela mengorbankan pekerjaan rumah demi pengabdian di sekolah.
Namun, feedback yang diberikan tidak seimbang dengan perjuangan. Bahkan sangat
jauh dari apa yang diharapkan. Masih layakkah, jika para guru honorer seperti
Novi merasakan pelik seperti ini di negara yang sudah merdeka ini?
Dijanji Kenaikan Gaji
Sudah banyak informasi yang bertebaran, dengan
bertajuk kenaikan gaji bagi honorer. Mendengar hal itu, adalah sebuah kado
terindah bagi guru honorer. Namun, kembali kita melihat, bahwa informasi yang
berseliweran, hanyalah semacam lelucon. Bagaimana saya tidak mengatakan
demikian, kenaikan gaji yang ada di lintas pikiran saya adalah, kenaikan gaji
yang mampu memberi kehidupan yang layak bagi para guru. Namun faktanya? Oh
tidak. Informasi yang berseliweran hanya sekadar jebakan pencitraan semata.
Gaji dengan kenaikan Rp5000 per jam, belum
mampu membayar jerih payah, serta cucuran keringat para guru honorer. Apalagi
di tengah keadaan saat ini, yang hampir semua barang serta bahan yang digunakan
dalam kehidupan terus mengalami peningkatan harga. Lalu, apa yang membedakan
antara gaji seperti biasa, dengan gaji yang konon dinaikkan Rp5000? Timbul
pertanyaan, sadarkah para otoriter saat membuat kebijakan terkait hal itu?
Mungkin saja mereka sadar saat menuliskan kebijakan itu, namun lupa memahami
kondisi rakyatnya.
“Ya kalau naiknya sampai ratusan ribu
Alhamdulillah. Tidak usah sehari, seminggu naik seratus ribu sudah lumayan.
Sekarang apa-apa (barang) mahal. Kita makan satu hari, tiga kali. Jadi kalau
satu kali makan Rp10 ribu di kali tiga, sudah berapa itu. Terus naiknya honor
Rp5000, lah kalau begitu anak saya mau saya kasih makan apa. Untung saja saya
punya suami, dan untungnya kerja. Kalau tidak, saya tidak tahu mau bagaimana,” jelasnya.
Kalau mendengar keluhan para guru honorer,
rasanya sangat menyayat hati. Terpukul pastinya, karena ingin membantu, namun
kita juga lagi kesusahan. Kita masih susah, kita masih butuh akan uluran tangan
dari para pembuat kebijakan untuk bagaimana bisa memberikan kehidupan yang
layak bagi masyarakat, terkhusus para guru honorer. Pelik yang dirasakan guru
honorer nyata adanya. Padahal, tanpa mereka generasi Indonesia tidak bisa
menjadi siapa-siapa. Pengorbanannya sangatlah terang-terangan, namun balasannya
tak kunjung menuai keterangan (kepastian).
Kemelaratan di Negara Merdeka?
Begini rasanya hidup di negara merdeka.
Para pemangku kebijakan bekerja di ruang AC, dingin, bersih, kursi berputar,
makan disediakan, bahkan gaji yang diperoleh pun melebihi kata layak. Jika kita
menoleh ke para guru honorer yang masih merasakan sakit di negara yang merdeka.
Sakit yang dimaksudkan adalah mereka harus berjam-jam berdiri, memikirkan
banyak kepala, bercucuran keringat karena tempat kerja yang panas, tak bisa
merasakan dinginnya AC dan juga nikmatnya kursi yang berputar.
“Saya tidak butuh hidup kaya, yang saya mau hanyalah kehidupan yang layak, dengan gaji yang sesuai dengan apa yang saya kerjakan. Tidak usah
banyak-banyak, yang jelas kebutuhan kami terpenuhi. Tapi jangan juga Rp5000.
Bahkan saya juga tidak merasakan adanya kenaikan gaji itu, di tempat saya mengajar saya cuman
dibayar Rp8000 per jam. Satu minggu saya dapat 5 jam. Jadi sebulannya saya
dapat kisaran Rp160.000. Kira-kira kalau begitu cukupkah untuk satu bulan. Nelangsa
ya jadi guru honorer. Terkadang saya kasihan sama diriku, tapi ya mau bagaimana
lagi,” ujarnya,
sembari memberikan makan pada anak semata wayangnya.
Keterpurukan dan kemelaratan di negara Indonesia masih nampak jelas. Kondisi-kondisi seperti halnya kesejahteraan guru honorer sebenarnya sangat perlu diperhatikan. Karena jasa mereka sangat besar bagi kelangsungan generasi bangsa. Seharusnya para guru honorer bisa diberikan perhatian khusus, tanpa harus berkoar-koar terlebih dahulu untuk menyampaikan aspirasinya.
Saat ini yang dibutuhkan oleh negeri adalah kobaran semangat
pemangku kebijakan untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya, bukan memberikan
penindasan dengan tidak memberikan hak yang layak dan sesuai dengan jerih payah
yang telah dilakukan oleh rakyat untuk negara. Maasyarakat, Guru Honorer serta
pemangku kebijakan harus bisa bersatu demi Indonesia yang sejahtera.
Sejahteranya Indonesia bergantung pada kesejahteraan penduduknya, termasuk
masyarakat dan para guru honorer yang hingga saat ini masih merasakan
kemelaratan di negara yang Merdeka ini.